Setiap muslim yang bertemu dengan saudaranya maka disyari’atkan baginya untuk mengucapkan salam kepada mereka. Yaitu dengan mengucapkan ‘Assalamu’alaikumwarahmatullahiwabarakatuh’. Hal ini termasuk akhlak terpuji yang diserukan oleh Islam.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sampai kalian meminta ijin dan mengucapkan salam kepada pemiliknya. Hal itu lebih baik bagi kalian mudah-mudahan kalian dapat mengambil pelajaran.” (QS. an-Nur : 27).
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Apabila kalian memasuki rumah maka ucapkanlah salam bagi diri kalian sebagai penghormatan dari sisi Allah yang diberkahi dan penuh dengan kebaikan. Demikianlah Allah terangkan kepada kalian ayat-ayat agar kalian mau berpikir.” (QS. an-Nur : 61).
Seorang khotib yang hendak menyampaikan khutbahnya pada hari jum’at disyari’atkan mengucapkan salam kepada jama’ah shalat yang sudah menunggu kedatangannya. Dalam hal ini para ulama telah menjelaskan hukum-hukum seputar mengucapkan salam bagi seorang khotib, sebagai berikut :
Hukum mengucapkan salam
Para ulama ahli fikih berbeda pendapat mengenai hukum mengucapkan salam bagi khotib :
- Pendapat pertama menyatakan bahwa seorang khotib disyariatkan untuk mengucapkan salam kepada jama’ah yang berada di dalam masjid. Pendapat ini dipegang oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
- Pendapat kedua menyatakan bahwa khotib tidak boleh mengucapkan salam kepada jama’ah yang berada di dalam masjid, ini adalah pendapat ulama Hanafiyah. Bahkan menurut mereka khotib justru dianjurkan untuk tidak mengucapkan salam sejak berangkat menemui jama’ah sampai shalat jum’at mulai dilakukan.
Dalil pendapat pertama :
- Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma, “Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila naik ke atas mimbar maka beliau mengucapkan salam.” (HR. Ibnu Majah [1109], dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibni Majah, [3/109]. Hadits ini dinyatakan al-Albani sahih dengan syawahidnya dalam as-Shahihah [2076] as-Syamilah).
- Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah mendekati mimbarnya pada hari Jum’at maka beliau mengucapkan salam kepada orang-orang yang yang sedang duduk di sisi mimbar tersebut. Apabila beliau naik ke mimbar maka beliau menghadap kepada jama’ah dan mengucapkan salam.” (HR. Baihaqi dalam Sunan al-Kubra, [3/205]. Namun hadits ini didha’ifkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ as-Shaghir [9881]. as-Syamilah).
- Dari Ibnu Juraij dari Atha’, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu apabila naik ke atas mimbar maka beliau menghadap kepada orang-orang lalu mengatakan, ‘Assalamu’alaikum’.” (HR. Abdur Razzaq dalam Mushannafnya, [3/192]. as-Syamilah, hadits ini adalah mursal karena Atha’ adalah tabi’in, dan hadits mursal termasuk hadits lemah).
- Dari as-Sya’bi, “Dahulu apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke mimbar pada hari Jumat maka beliau menghadapkan wajahnya kepada orang-orang lalu mengucapkan, ‘Assalamu’alaikum’, kemudian beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya. Kemudian beliau membaca surat lalu duduk. Setelah itu beliau bangkit dan kembali berkhutbah. Lalu beliau turun. Abu Bakar dan Umar pun melakukan hal itu.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya [2/23] as-Syamilah, namun hadits ini adalah mursal karena as-Sya’bi adalah tabi’in, al-Albani mengatakan [as-Shahihah 2076] bahwa hadits ini tidak mengapa dijadikan sebagai syawahid/hadits penguat. Hadits yang lemah bisa dijadikan sebagai syawahid selama kelemahannya tidak parah, lihat Muntaha al-Amani, 151).
Dalil pendapat kedua :
Syaikh Abdurrahman bin Mu’alla al-Luwaihiq berkata, “Saya tidak menemukan dalil-dalil yang mendukung para ulama yang menganut pendapat ini.”
Kapan mengucapkan salam?
Para ulama yang berpendapat bahwa khotib jumat disyariatkan mengucapkan salam berbeda pendapat mengenai tempatnya :
- Pendapat pertama menyatakan bahwa khotib/imam disyariatkan mengucapkan salam ketika masuk masjid dan ketika naik ke atas mimbar dan menghadap orang-orang. Ini adalah pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Ibnu Qudamah mengatakan, “Dianjurkan bagi imam apabila keluar [menjumpai jama’ah] untuk mengucapkan salam kepada orang-orang lalu apabila dia naik ke mimbar dan menghadap kepada orang-orang yang hadir maka dia pun hendaknya mengucapkan salam kepada mereka.” (al-Mughni [3/161]).
- Pendapat kedua menyatakan bahwa dianjurkan mengucapkan salam hanya ketika masuk menemui orang-orang dan dimakruhkan mengucapkan salam ketika naik mimbar. Ini adalah pendapat ulama Malikiyah. Ibnu al-Qasim mengatakan, “Aku pernah bertanya kepada Malik; Apakah ketika imam naik ke mimbar di hari jumat mengucapkan salam kepada orang-orang?” Maka dia menjawab, “Tidak, dan saya mengingkari hal itu.”.” (al-Mudawwanah al-Kubra, [1/150]).
Dalil pendapat pertama : [1] Hadits Jabir yang telah disebutkan di depan, [2] Hadits Ibnu Umar yang telah disebutkan di depan, [3] Hadits as-Sya’bi yang telah disebutkan di depan. Para ulama yang mengemukakan pendapat ini menyatakan bahwa alasan dianjurkannya hal itu adalah karena ketika naik ke mimbar seorang khotib dalam keadaan membelakangi jama’ah maka ketika dia menghadap mereka disyariatkan untuk mengucapkan salam untuk kedua kalinya
Sedangkan para ulama yang menyatakan makruhnya ucapan salam yang kedua mengatakan bahwa alasan mereka adalah dikarenakan tidak ada dalil yang menunjukkan disyariatkannya hal itu. Sebagaimana disebutkan dalam Hasyiyah al-‘Adawi, “Karena hal itu tidak pernah disebutkan dalam riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya hal itu hanyalah perkara yang diada-adakan.” (Hasyiyah al-‘Adawi, 8212).
Pendapat yang kuat
Dalam hal ini pendapat yang dirajihkan oleh Syaikh Abdurrahman bin Mu’alla al-Luwaihiq adalah pendapat pertama yaitu yang menetapkan bahwa disyariatkan untuk mengucapkan salam dalam kedua keadaan tersebut dengan alasan:
- Keumuman dalil yang menunjukkan disyariatkan mengucapkan salam bagi orang yang masuk
- Dalil-dalil tegas yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam kepada orang-orang
- Ketika memasuki masjid seorang khotib mengucapkan salam kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya sedangkan ketika naik mimbar dia mengucapkan salam kepada semua jama’ah yang ada
Disarikan dari :
Maudhu’at Khuthbah al-Jumu’ah karya Syaikh Abdurrahman bin Mu’alla al-Luwaihiq hal. 4-7
Tambahan :
Berikut ini keterangan ulama lainnya mengenai status hadits Jabir bin Abdillah di atas yang dijadikan sebagai landasan hukum oleh para ulama yang menyatakan sunnahnya khatib mengucapkan salam setelah naik mimbar [dicuplik dari as-Syamil fi Fiqhi al-Khotib wa al-Khuthbah karya Syaikh Su’ud as-Syuraim, Imam dan Khotib Masjidil Haram dengan sedikit penambahan] :
- an-Nawawi mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh Baihaqi dari jalur Ibnu Umar dan Jabir, sedangkan sanad kedua jalur ini tidak kuat.” (Majmu’ Syarh Muhadzdzab [4/355])
- Ibnu Adi dan Ibnu Hiban melemahkan hadits ini sebagaimana disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhish (at-Talkhish al-Habir [2/63]. Ibnu Hajar mengatakan sanad hadits ini dha’if, at-Talkhish al-Habir 643 [2/214] as-Syamilah)
- az-Zaila’i mengatakan tentangnya, “Ini hadits yang lemah.” (Nashb ar-Rayah [2/205])
- Pernyataan az-Zaila’i di atas al-Manawi (Faidh al-Qadir [5/146])
- al-Bushiri mengatakan tentangnya, “Di dalam sanad hadits ini terdapat Ibnu Lahi’ah sedangkan dia adalah periwayat yang lemah.” (Mishbah az-Zujaj [1/352])
- Ibnu Abi Hatim menyebutkan, bahwa suatu saat dia bertanya kepada ayahnya (Abu Hatim) mengenai hadits ini, dan ayahnya menjawab, “Ini adalah hadits palsu.” (‘Ilal al-Hadits [1/352], lihat pula Nashb ar-Rayah [3/373] as-Syamilah)
- Syaikh Su’ud as-Syuraim mengatakan, “Apa yang disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim dari ayahnya itu merupakan ungkapan yang terlalu berlebihan, sebab di dalam sanadnya tidak ada periwayat yang tertuduh dusta. Dan hadits ini pun dinilai hasan oleh as-Suyuthi di dalam al-Jami’ as-Shaghir [5/146].” Beliau (Syaikh Syuraim) akhirnya berkesimpulan bahwa tidak ada riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan hal ini. Sehingga pada asalnya dalam perkara ini terdapat keleluasaan (bebas, boleh salam dan tidak). Meskipun demikian, mengucapkan salam sebaiknya tetap dilakukan berdasarkan dalil-dalil umum yang ada. Demikian keterangan Syaikh as-Syuraim secara ringkas.
Syaikh al-Albani rahimahullah mensahihkan hadits ini dengan syawahidnya (as-Shahihah [2076]), di antara dalil yang menguatkannya menurut beliau adalah :
- Dari Abu Nadhrah, dia mengatakan, “Ketika itu Utsman (bin ‘Affan) telah tua, sewaktu dia naik mimbar maka dia mengucapkan salam…” (HR. Ibnu Abi Syaibah [2/23] as-Syamilah, sanadnya disahihkan al-Albani)
- Dari Amr bin Muhajir, dia mengatakan, “Umar bin Abdul Aziz apabila telah naik di atas mimbar maka dia mengucapkan salam kepada orang-orang dan mereka pun membalas salamnya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah [2/23], sanadnya disahihkan al-Albani)
- Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila telah mendekati mimbarnya pada hari jumat maka beliau mengucapkan salam kepada orang-orang yang duduk di sekitarnya. Kemudian setelah beliau naik mimbar maka beliau menghadapkan wajahnya kepada orang-orang lalu mengucapkan salam.” (HR. al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra [3/205] as-Syamilah, hadits ini dinilai dha’if oleh al-Albani dalam ad-Dha’ifah [4194] dan Shahih wa Dha’if al-Jami’ as-Shaghir [9881] as-Syamilah)
Sebagaimana sudah disinggung di atas, sebab penilaian lemahnya hadits Jabir bin Abdillah di atas adalah karena adanya Ibnu Lahi’ah. Syaikh al-Albani mengatakan tentangnya, “Beliau banyak meriwayatkan hadits, hanya saja setelah kitab-kitabnya terbakar maka hal itu membuatnya menyampaikan hadits berdasarkan hafalannya sehingga muncullah banyak kekeliruan dalam haditsnya, meskipun pada umumnya haditsnya adalah sahih. Ahmad mengatakan; Terkadang saya menulis hadits dari seseorang untuk dijadikan sebagai penguat, seperti haditsnya Ibnu Lahi’ah.” (Muntaha al-Amani, 138)
Abdullah bin Lahi’ah termasuk pembesar tabi’ut tabi’in. Ibnu Hajar mengatakan tentang kredibilitasnya, “Shaduq.” Sedangkan adz-Dzahabi mengatakan, “Lemah.” (Ruwat at-Tahdzibain, as-Syamilah).
Pernyataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa Ibnu Lahi’ah adalah perawi yang lemah hafalannya. Syaikh Mushthafa al-Adawi mengatakan bahwa salah satu ungkapan untuk menunjukkan perawi yang lemah hafalannya di dalam Taqrib at-Tahdzib adalah ucapan Ibnu Hajar ‘shaduq’, ‘laa ba’sa bihi’, atau shaduq tapi kadang salah (lihat Mushthalah Hadits fi Su’al wa Jawab pertanyaan no 64).
Dengan pertimbangan inilah mungkin Syaikh al-Albani mengelompokkan hadits Jabir dalam Sunan Ibnu Majah ke dalam kategori hadits hasan, kemudian setelah terbukti adanya beberapa hadits lain yang menguatkannya maka beliau pun mensahihkannya dalam Silsilah as-Shahihah [2076]. Wallahu a’lam.